peranan peternakan terhadap kebutuhan pakan hewani
PERANAN PETERNAK
TERHADAP
KETAHANAN PANGAN HEWANI
DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permintaan dunia terhadap pangan hewani
(daging, telur dan susu serta produk olahannya) sangat besar dan diproyeksikan
akan meningkat sangat cepat selama periode tahun 2005−2020 mendatang khususnya
di negara-negara sedang berkembang. Penduduk dunia saat ini sekitar 6,3 milyar
dan diperkirakan meningkat sebanyak 76 juta jiwa setiap tahunnya. Dari jumlah
penduduk tersebut, sekitar 5,3 milyar (84%) diantaranya berdomisili di
negara-negara sedang berkembang yang rata-rata tingkat konsumsi protein
hewaninya relatif sangat rendah.
Indonesia termasuk negara sedang
berkembang, dengan jumlah penduduk sekitar 212 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan ratarata 1,5% per tahun serta peningkatan pendapatan per kapitanya
sekitar 3% per tahun. Dari jumlah penduduk tersebut tentunya membutuhkan pangan hewani yang cukup besar dan
diproyeksikan meningkat sangat cepat dimasa mendatang. Peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein
hewani juga ikut mendorong meningkatnya permintaan terhadap pangan hewani.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, produksi ternak domestik belum mampu untuk
mencukupinya, sehingga harus dipenuhi melalui impor yang cenderung semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Tanpa impor, terjadi pengurasan ternak lokal
atau konsumsi protein hewani akan menurun secara signifikan.
Tuntutan akselerasi pembangunan
peternakan untuk memenuhi permintaan produk peternakan yang sangat cepat disatu
sisi dan kondisi nyata kinerja pembangunan peternakan yang belum optimal, perlu
diformulasikan melalui strategi dan kebijakan yang komprehensif, sistematik,
terintegrasi baik vertikal maupun horizontal, berdayasaing, berkelanjutan dan
ter desentralisasi.
Pada akhirnya, kecukupan pangan (protein
hewani) yang berfungsi menyehatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
agribisnis berbasis peternakan yang merupakan salah satu pilar pembangunan
sosial ekonomi, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya peternakan yang
seimbang, merupakan blue print pengembangan peternakan di masa
mendatang.
Peternakan
sangat penting peranannya dalam mencapai dan memberlanjutkan ketahanan pangan
terutama di daerah pedesaan. Demikian juga untuk mengurangi kemiskinan.
Peternakan menyumbangkan pangan hewani yang nilai nutrisinya lebih tinggi
dibanding pangan nabati. Peternakan juga memberi sumbangan penting bagi
ketahanan pangan dengan meningkatkan produktivitas tanaman melalui penggunaan
pupuk kandang, pemanfaatan tenaga kerja ternak, menyediakan pendapatan yang
pada gilirannya dapat digunakan untuk membeli bahan pangan. Dengan demikian
sangat penting menguatkan peternakan, baik dalam konteks ketahanan pangan
maupun dalam kerangka pengentasan kemiskinan. Untuk itu diperlukan program
penguatan yang berbasis sumberdaya lokal, berorientasi pasar domestik dan
berpihak kepada kaum miskin yang mayoritas berada di pedesaan.
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1. Arti Penting Pangan Hewani
Dalam Undang-undang RI No. 7 tahun
1996 tentang Pangan (UU Pangan) disebutkan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar
manusia yang pemenuhannya menjadi hak azasi setiap rakyat Indonesia. Pangan
tersebut dapat berasal dari bahan nabati atau hewani dengan fungsi utama
sebagai sumber zat gizi. Berdasarkan evaluasi Susenas 2003, tingkat konsumsi
pangan hewani masyarakat Indonesia baru sekitar 58% dari kebutuhan (Dirjen Bina
Produksi Peternakan, 2004). Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih
bertumpu pada bahan pangan nabati untuk pemenuhan gizinya. Rendahnya konsumsi
pangan hewani telah memberi kontribusi terhadap munculnya kasus gizi buruk di
Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Laporan WHO (World Health Organization)
menyebutkan bahwa dalam kurun tahun 1999-2001 sekitar 12,6 juta jiwa penduduk
Indonesia menderita kurang pangan (SCN, 2004). Jumlah tersebut mungkin menjadi
bagian dari masyarakat yang mengalami defisit energi protein. Dalam Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004 terungkap bahwa sekitar 81,5 juta jiwa
masyarakat Indonesia mengalami defisit energi protein, terutama protein hewani
(Pambudy, 2004). Pemenuhan kebutuhan pangan hewani bagi sekitar 230 juta jiwa
penduduk Indonesia yang terus bertambah lebih dari 1,3% per tahun merupakan
permasalahan yang perlu diupayakan jalan keluarnya.
Hingga saat ini produk olahan hasil
ternak di Indonesia masih terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan nasional
masih harus impor (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2004). Untuk penyediaan
hasil ternak dalam jangka panjang, perlu optimalisasi seluruh segmen kegiatan
industri peternakan, yaitu: (1) industry primer seperti pembibitan dan budidaya
ternak, (2) industri sekunder dalam kegiatan pasca panen, dan (3) industri
tersier di bidang distribusi dan pemasaran (Chamdi, 2004). Goldberg (1991)
memprediksikan bahwa dalam agribisnis global tahun 2000-2028, focus kegiatan
dan penyerapan dana terbesar adalah untuk industri sekunder dan tersier. FAO
juga telah mencanangkan bahwa tahun 2020 akan terjadi Revolusi Peternakan
(Livestock Revolution) sebagai The Next Food Revolution. Oleh sebab itu,
peranan teknologi pangan sebagai inti industri sekunder peternakan dalam
pengembangan produk olahan hasil ternak harus ditingkatkan untuk antisipasi
kompetisi global saat ini dan di masa depan.
2.2. Tantangan Penyedian Protein Hewani
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2025 diperkirakan mencapai 273,7 juta jiwa. Demikian dikatakan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas saat menyebutkan proyeksi penduduk
Indonesia tahun 2000-2025 (Kompas, 3/8/2005). Dengan jumlah penduduk sebesar
itu Indonesia merupakan pasar yang luar biasa besar.
Namun sayangnya, kita masih sangat
tergantung pada bahan impor. Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi hidup
sebanyak 450 ribu ekor dari Australia. Setiap tahun negara agraris ini
mengimpor 1 juta ton bungkil kedele, 1,2 juta ton jagung, 30 ribu ton tepung
telur dan 140 ribu ton susu bubuk. Importasi bahan pangan tersebut menguras
devisa negara cukup besar.
Sebagai negara dengan jumlah
penduduk terbesar keempat negara di dunia, Indonesia termasuk pasar potensial
bagi negara-negara lain. Produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan
bahan pangan hewani sebagai sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Saat ini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni
4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah
26 gram/kapita/hari (Han, 1999). Peningkatan konsumsi protein hewani dapat
dipacu dengan meningkatkan pendapatan rumahtangga dan kesadaran gizi masyarakat
Merebaknya kasus gizi buruk (malnutrisi) dan busung
lapar pada anak-anak usia bawah lima tahun (balita) beberapa waktu lalu sangat
merisaukan kita sebagai bangsa. Sesungguhnya, kasus malnutrisi disebabkan
kurangnya asupan kalori-protein pada tingkat rumahtangga. Masa balita merupakan
“periode emas (the golden age)” pertumbuhan anak manusia dimana sel-sel otak
sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein hewani sangat
dibutuhkan agar otak berkembang secara optimal, tidak sampai tulalit, (Nadesul,
Kompas 9/7/05).
Asupan kalori-protein yang rendah
pada anak balita menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko
terkena penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performans
mereka di sekolah dan menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa
(Pinstrup-Andersen, 1993 dalam Rusfidra, 2005a). Kasus malnutrisi yang sangat
parah pada usia balita dapat menyebabkan bangsa ini mengalami loss generation.
Akibat berikutnya adalah rendahnya daya saing SDM bangsa ini dalam percaturan global
antar bangsa
Namun sayangnya, ditengah usaha
berbagai pihak mempromosikan peningkatan konsumsi protein hewani, negara ini
kembali disibukkan oleh merebaknya wabah flu burung. Hingga Januari 2006 jumlah
pasien yang diduga terinfeksi flu burung berjumlah 85 orang, dimana 17 pasien
diantaranya meninggal dunia. Realitas ini menunjukkan bahwa kasus flu burung
masih bersirkulasi di sekitar kita Oleh karena itu, kita berharap kepada
aparatur pemerintah (Deptan dan Depkes) agar bekerja dengan visi dan rencana
kerja yang sistematis, tidak bekerja serabutan seperti selama ini. Selama ini
terkesan birokrat bekerja seperti “pemadam kebakaran”, baru kelihatan program
kerjanya setelah timbulnya masalah. Wabah flu burung telah berdampak pada
turunnya konsumsi daging dan telur karena adanya kekawatiran masyarakat akan
terinfeksi flu burung bila memakan telur dan daging ayam. Meskipun wabah flu
burung bersifat fatal (mematikan) pada unggas, namun konsumen tidak perlu
kawatir untuk mengkonsumsi daging ayam dan telur. Karena dengan pemanasan pada
suhu 56 C selama 3 jam atau pada 60 C selama 30 menit virus Avian Influenza
(AI) akan mati. Artinya, selama konsumen tidak memakan telur atau daging ayam
mentah, maka kecil peluang terinfeksi AI (Rusfidra, 2005b).
Penularan flu burung selama ini
terjadi melalui pernafasan (air borne desease), bukan melalui makanan (food
borne desease). Karena itu, kampanye makan daging ayam dan telur secara aman
merupakan langkah cerdas untuk memulihkan citra bahwa memakan daging ayam dan
telur relatif aman sepanjang kedua komoditi unggas tersebut diolah secara benar
sebelum dimakan.
Selain itu, juga diperlukan program penyediaan sumber
protein hewani yang murah, mudah tersedia, terjangkau dan bergizi tinggi pada
tingkat rumahtangga. Dalam konteks ini, program “Family Poultry” layak
ditimbang sebagai sebuah solusi mengatasi terjadinya malnutrisi, efektif dalam
pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan
sebagai sumber pendapatan (Rusfidra, 2005a, Rusfidra, 2005c, Rusfidra, 2005d).
2.3. Upaya Penyediaan Pangan Hewani di Indonesia
Upaya peningkatan ketersediaan
pangan menjadi program pemerintah yang sangat sulit dilakukan, terutama di
bidang peternakan yang berhubungan dengan swasembada daging. Hal ini terkendala
masalah penyediaan bibit, modal serta SDM , lebih dari 90% ternak sapi
dipelihara oleh sekitar 6,5 juta rumah tangga di pedesaan dengan pengetahuan
peternakan yang minim. Banyak dari peternak sapi potong itu juga telah berusia
tua, dengan tingkat pendidikan lulusan sekolah dasar sehingga pengetahuan
mereka pun terbatas.
Sulitnya memenuhi pangan hewani
berupa daging tercermin pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dan
Jusuf Kalla , program swasembada daging sapi ditargetkan pada tahun 2005,
kemudian direfisi 2010 . namun tahun 2010 hal itu juga tidak akan tercapai
karena tidak mungkin dalam 2 tahun ditambah populasi bibit sapi 1 juta ekor.
Selain tidak ada dana , bibit juga btidak ada. Mentri pertanian sebelumnya,
Anton Apriantono, mengakui, program swasembada daging sapi gagal dicapai.
Gagalnya program swasembada daging sapi karena laju pertambahan populasi kalah
cepat(kompas, 9/9/2009)
Departemen Pertanian menargetkan
swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah
program, penyediaan daging sapi didalam negeri diproyeksikan meningkat 67% pada
tahun 2010 menjadi 90% di tahun 2014. “dengan berbagai upaya ini, populasi sapi
potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14,6
juta ekor pada tahun 2014” kata Suwarno . hal ini disampaikan pada saat
memaparkan rencana strategis kecukupan daging 2010-2014 dalam seminar nasional
pengembangan ternak potong untuk mewujudkan program kecukupan /
swasembada daging di Fakultas Petrnakan Universitas GajahMada , Jogjakarta , sabtu
(7/11).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Peran dan Sumbangan
Peternakan bagi Ketahanan Pangan
Aktivitas beternak
memainkan peranan penting dalam kehidupan petani di negara-negara sedang
berkembang dalam rangka penyediaan pangan, pendapatan, kesempatan kerja dan
banyak kontribusi lainnya. Di banyak wilayah Asia, ternak merupakan penyedia
dukungan utama bagi pertanian berupa tenaga, pupuk dan modal. Khususnya unggas,
penting peranannya sebagai sumber uang tunai harian dan sumber nutrisi bagi
penduduk pedesaan. Pemilikan ternak juga merupakan ukuran penting kesejahteraan
karena di banyak wilayah ternak merupakan asset penting ke dalam mana keluarga
pedesaan menimbun kekayaannya (Ali and Khan, 2013). Pemilikan asset seperti
ternak dinilai sebagai ukuran kesejahteraan yang lebih baik dibanding
pendapatan karena merefleksikan kapasitas jangka panjang rumahtangga mengelola
resiko dan memenuhi kebutuhan konsumsinya (Njuki et al, 2011).
Peternakan juga potensial sebagai transformator peradaban karena dengan
meningkatkan ketahanan pangan dan ketersediaan pendapatan untuk biaya
pendidikan maka peternakan memungkinkan anak-anak penduduk miskin menjadi lebih
sehat dan lebih terdidik, sementara yang dewasa menjadi lebih produktif. Secara
keseluruhan, keluarga yang memiliki ternak memiliki 19 – 41 % lebih tinggi
tingkat ketahanan pangan dibanding yang tidak memilikinya (Smith, et al, 2013).
Prevalensi malnutrisi
protein dan energi, mulai dari tingkat ringan hingga sedang, masih tinggi di
negara-negara sedang berkembang, terutama anak-anak. Penyebab utamanya adalah
ketidakmampuan asupan ransum harian yang berbasis pangan nabati menyediakan
energi, protein dan nutrisi mikro memenuhi kebutuhan tubuh. Kendati beberapa
jenis sayuran mengandung cukup tinggi zat besi, seng dan kalsium namun
bioavailabilitasnya jauh lebih rendah dibanding pangan hewani. Akibatnya akan
sulit bagi anak-anak untuk memperoleh asupan kalsium minimal bila ransum
hariannya berbasis pangan nabati; sedangkan bila berbasis pangan hewani hal
tersebut dengan mudah dapat dicapai (de Haan et al, 2001).
Ternak juga memberi sumbangan
tidak langsung terhadap ketahanan pangan melalui peningkatan produksi
tanaman dengan menghasilan pupuk kandang. Selanjutnya, ternak berperan sebagai
penyangga pada mitigasi dampak fluktuasi produksi tanaman terhadap konsumsi
pangan dan dengan demikian berperan menstabilkan suplai pangan. Akhirnya,
ternak berperan menaikkan totalitas produktivitas tenaga kerja rumah tangga
dengan menyediakan “kesempatan kerja” bagi semua angora keluarga pada setiap
musim serta bagi setiap gender dan generasi (FAO, 2012). Lebih lanjut, ternak
seringkali merupakan asset paling berharga yang dimiliki rumahtangga miskin
pedesaan. Akumulasi penghasilan dari usaha ternaklah yang paling sering membuka
kemungkinan bagi rumahtangga miskin untuk membeli lahan, membuka usaha kecil,
mendiversifikasi pendapatan serta mengurangi kemiskinan dan kerentanan.
Semuanya ini berpotensi menguatkan keamanan pangan dan nutrisi mereka(Smith,
2013).
Secara global
diperkirakan pupuk kandang menyediakan hingga 12% input nitrogen untuk budidaya
tanaman pangan dan 23% pada sistim terpadu tanaman-ternak. Secara umum
penggunaan pupuk anorganik sangat rendah di Afrika di mana rata-rata petani
disana mengaplikasikan hanya 9 kg/ha/thn pupuk komersial. Aplikasi pupuk
kandanglah yang memperbaiki efisiensi pupuk anorganik yang amat terbatas
tersebut. Karena utilitasnya tersebut, tidak sedikit masyarakat yang menghargai
pupuk kandang dengan sangat tinggi sehingga ada yang dibarter dengan hasil
panen butiran, diangkut dari tempat jauh dan bahkan beberapa peternak sapi
menghargai kotoran ternaknya setara dengan air susu (Smith, 2013).
Terutama bagi daerah kering,
ternak memainkan peranan penting dalam ketahanan pangan. Salah satu
karakteristik daerah kering adalah curah hujan yang rendah dan fluktuatif
sehingga tidak cocok untuk budidaya tanaman pangan. Daerah kering, yang
meliputi sekitar 50% dari daratan dan mewakili 55% dari total lahan produktif
yang ada di planet bumi ini, oleh peternakan didayagunakan sebagai areal
penggembalaan (FAO, 2012).
Terlepas dari berbagai
peran positif yang disumbangkan bagi kesejahteraan manusia, ternak juga
mengancamkan dampak negatif yang perlu dipertimbangkan dan dikelola. Dua
diantaranya yang paling penting adalah 1) ancaman penyebaran dan pemindahan
penyakit menyular yang berkaitan dengan ternak (zoonotic deseases), dan
(2) dampak negatif terhadap lingkungan. Magnitudo kerusakan lingkungan dan
ancaman kesehatan yang berkaitan dengan ternak sangat dipengaruhi oleh
cara-cara sektor peternakan beroperasi dan tumbuh untuk memenuhi permintaan
yang terus meningkat (FAO, 2012). Penyebaran dan pemindahan penyakit oleh
ternak kepada manusia dapat terjadi melalui vektor seperti gigitan lalat dan
melalui pangan asal ternak yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit ini akan
membatasi produktivitas manusia dengan mengurangi kemampuannya memproduksi
pangan untuk dirinya sendiri atau kemampuan untuk bekerja guna memperoleh
penghasilan untuk membeli bahan pangan. Dengan 13 jenis penyakit zoonosis utama
yang menyebabkan 2.2 juta jiwa kematian per tahun, yang kebanyakan berasal dari
kaum miskin dan kelas menengah, maka dapat disebutkan bahwa bahaya yang
diancamkan oleh ternak terhadap nutrisi dan kesehatan manusia sangat besar
(Smith et al, 2013).
Dampak negatif lain
dari peternakan adalah pencemaran lingkungan. Gas rumah kaca (GRK), yang
bertanggung jawab atas pemanasan global, diemisikan dari hewan ternak melalui
dua cara, yaitu 1) dari proses pencernaan berupa gas metana (CH4) yang
dihasilkan oleh hewan hervivora dan ruminansia sebagai hasil sampingan dari
aksi fermentasi microbial atas bahan pakan di dalam saluran pencernaan; dan 2)
dari kotoran atau feses. Produksi metan dari feses tergantung kepada penanganan
feses tersebut. Feses hewan yang disimpan dalam bentuk cair atau padat
memproduksi metan dalam jumlah banyak. Namun bila disimpan dalam kondisi
anaerobik (tanpa oksigen) maka tidak ada atau hanya sedikit gas metan yang
diemisikan (Vinayakrao, 2009).
3.2. Upaya-upaya Penguatan
Peternakan untuk Ketahanan Pangan
Untuk mencapai dan
memperkokoh ketahanan pangan hewani serta menangkap peluang pasar domestik dan
global, Indonesia perlu merumuskan berbagai terobosan strategis yang bermuara
kepada penguatan industri peternakan, terutama yang berbasis pedesaan. Sebagai
negara kepulauan, Indonesia kurang memiliki keunggulan komparatif untuk
mengembangkan sistem peternakan berbasis hijauan (grass-fed livestockfarming)
baik yang dibudidayakan maupun pastura alami. Daya saing Indonesia terletak
pada sistem peternakan berbasis pakan butiran (grain-fed livestockfarming)
dan atau hasil ikutan dan limbah organik (byproduct/waste-fed
livestockfarming). Potensi pakan seperti ini lebih feasible didayagunakan
pada usaha ternak berskala kecil-menengah. Oleh karena itu, upaya-upaya
pengembangan agribisnis peternakan di Indonesia - yang sekaligus peningkatkan
daya saing - harus mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi
sosial ekonomi setempat yang sangat beragam dan seringkali menuntut bukan
teknologi canggih melainkan teknologi spesifik lokasi yang tepat guna
(Simatupang dan Hadi, 2004).
Selama ini kebanyakan
anggapan menyebutkan bahwa hambatan terbesar dalam upaya peningkatkan
kontribusi teknologi bagi kesejahteraan rakyat adalah keterbatasan anggaran,
kualitas sumberdaya manusia dan/atau keterbatasan sarana dan prasarana riset.
Namun sebenarnya ketiga keterbatasan ini bukan akar persoalan melainkan masalah
sekunder. Akar persoalan sebenarnya adalah sulitnya mengubah mindset para
pengembang teknologi itu sendiri dan pembuat kebijakan pendukungnya (Lakitan,
2009). Sebagai contoh, rumusan tentang ketahanan pangan dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 bersifat satu sisi yakni hanya dari perspektif pemenuhan
kebutuhan konsumen semata namun tidak menyinggung peran produsen pangan.
Padahal tanpa peran produsen (dalam hal ini petani) sasaran ketahanan pangan
dimaksud tidak akan pernah tercapai dicapai (Lakitan, 2010).
Sementara itu, menurut FAO (2012)
pemerintah di berbagai negara-negara sedang berkembang jarang menghargai
peranan ganda yang dimainkan oleh peternakan dalam ekonomi rumah tangga
pedesaan. Kebijakan pembangunan peternakan cenderung memiliki fokus tunggal
yaitu peningkatan produksi produk-produk yang dapat dipasarkan. Perspektif
seperti ini jelas sangat sempit mengingat bagi peternak pedesaan mencapai
produktivitas fisik yang tinggi dari usaha ternak bukanlah sasaran utama
melainkan peranannya sebagai jaminan dalam berbagai situasi. Dikotomi yang
besar antara kriteria assesmen yang digunakan pembuat kebijakan dengan yang
digunakan peternak seperti ini menjadi akar dari masalah kebijakan pembangunan
peternakan yang kontribusinya minim terhadap pengentasan kemiskinan.
Efektivitas pengembangan peternakan dapat mengurangi kemiskinan hanya akan
tercapai bila didukung oleh kebijakan, kelembagaan dan teknologi yang pro-poor
yaitu berpihak kepada kaum miskin (De Haan et al, 2001)
3.3.
PERMASALAHAN DAN
TANTANGAN
Permasalahan dan tantangan terpenting
yang masih ditemui bagaimanakah peranan peternakan dilihat dari :
1) Sumberdaya
Ternak
Masalah produksi dan reproduksi pada
sapi potong belum optimal, peran ternak sapi potong lokal belum dimanfaatkan
secara optimal, karena sentra-sentra produksi ternak tersebut belum berkembang
secara maksimal.
2) Sumberdaya
Manusia
Usaha budidaya sapi potong pada sebagian
besar peternak masih bersifat sambilan dengan skala usaha yang rendah (di bawah
10 ekor). Orientasi peternak untuk menghasilkan ternak yang sesuai permintaan
pasar masih rendah. Hanya sedikit kelompok tani ternak sapi potong yang
mengembangkan sistem dan usaha agribisnis berbasis sapi potong.
3) Sumberdaya
Pakan
Penyediaan pakan hijauan sampai saat ini
masih tergantung pada musim dan pemanfaatan limbah/hasil samping tanaman
pertanian. Kendala utama khususnya di Kawasan
Indonesia
Timur adalah kekurangan pakan Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 hijauan
pada musim kering yang panjang. Model penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun
(Sistem Tiga Strata, sistem pasture unggul, pola integrasi ternak dengan
tanaman pangan/perkebunan, dsb) belum diterapkan dengan baik.
4) Sumberdaya
Lahan
Semakin terbatasnya penyediaan lahan
untuk penanaman rumput unggul, menyebabkan ketergantungan kepada limbah tanaman
pertanian/pangan yang nilai nutrisinya relative lebih rendah semakin meningkat.
Namun demikian, keterbatasan lahan ini hanya terdapat di Pulau Jawa, sementara
permintaan terhadap daging sapi terbesar berasal dari masyarakat di Pulau Jawa.
5) Sumberdaya
Teknologi
Pemanfaatan teknologi tepat guna belum
optimal, mengingat keterbatasan peternak untuk memanfaatkannya terutama bila
dikaitkan dengan biaya dan aplikasi di lapangan.
3.4. TANTANGAN
DAN PELUANG
1) Tantangan
·
Grand Strategy. Pembangunan
Pertanian belum menempatkan protein hewani sebagai prioritas tinggi (pangan
hewani sebagai komoditas strategis). Hingga saat ini, sasaran pembangunan
pertanian masih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan karbohidrat (beras dan
jagung).
·
Peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan sistem dan usaha agribisnis peternakan (hulu–hilir
dan pendukungnya) belum sinergi dan memadai. Amandemen Undang-undang No. 6
tahun 1967 yang merupakan landasan hukum bagi pembangunan peternakan belum juga
rampung dan diterbitkan. Tingkat ketergantungan usaha peternakan terhadap impor
sangat tinggi, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di luar
negeri. Sebagai contoh, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri,
masih diperlukan impor daging dan sapi potong sekitar 27−30%.
·
Peningkatan produksi
sapi potong relative lambat dibandingkan dengan peningkatan permintaan, terkait
dengan penerapan IPTEK (teknologi produksi, reproduksi, pakan, kesehatan
hewan), dan efisiensi manajemen. Tingkat pertumbuhan sapi potong selama tiga
tahun terakhir hanya mencapai 1,08%/tahun.
·
Daya saing antara
ternak sapi lokal dengan sapi potong ex impor masih lemah. Pada saat-saat
tertentu harga sapi lokal lebih rendah dari sapi ex impor, sehingga menurunkan
gairah peternak untuk meningkatkan produktivitas ternaknya.
·
Usaha perbibitan sapi
potong sangat kurang diminati investor atau swasta dengan usaha ternak skala
besar dan menengah, sehingga terkesan kurang mendapat perhatian. Hal ini
menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pertumbuhan ternak, yang
mengakibatkan stagnansi populasi sapi potong di Indonesia.
·
Usaha budidaya sapi
potong kurang berorientasi kepada pasar dan profit. Pola pikir peternak sukar
diubah untuk menempatkan usaha budidaya ternak pada posisi sebagai usaha pokok,
sehingga usaha masih berskala non ekonomis.
·
Sistem dan usaha agribisnis
berbasis sapi potong masih belum berkerakyatan, pola kemitraan tidak diminati
usaha skala besar (perusahaan), peternak plasma masih sangat tergantung kepada
perusahaan inti, akses dari hulu ke hilir belum berjalan lancar.
2) Peluang
Potensi Agroklimat Dan Tersedianya Lahan Yang Masih Cukup Luas
Potensi agroklimat Indonesia sangat
mendukung perkembangan ternak sapi potong, baik sapi lokal maupun sapi ex
impor. Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak yaitu lahan
sawah, padang Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 penggembalaan, lahan
perkebunan, dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan ternak tergantung kepada
keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, jenis sapi potong yang
dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun dan hutan tersebut memungkinkan
pengembangan pola integrasi ternak–tanaman yang merupakan suatu proses saling
menunjang dan saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk
mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik.
Sementara lahan sawah dan lahan tanaman
pangan menghasilkan jerami padi dan hasil samping tanaman yang dapat diolah
sebagai pakan sapi, sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput
lapangan dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat
meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan
produksi dan produktivitas ternak. Menurut beberapa hasil penelitian, potensi
tanaman pakan ternak di Indonesia masih dapat menampung lebih dari 11 juta
Satuan Ternak (ST).
3) Potensi
Sumberdaya Genetik Sapi Potong
Indonesia mempunyai kekayaan dan potensi
sumber daya genetik ternak sapi potong
nasional,
yang telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan daging, tenaga kerja, energi dan
pupuk. Sumberdaya genetik tersebut berupa ternak asli Indonesia, atau ternak
yang sudah sejak lama didomestikasi di Indonesia, dan ternak-ternak yang
didatangkan dari luar negeri.
Pada tahun 2003, populasi sapi potong di
Indonesia sekitar 11.395.688 ekor. Dengan
tingkat pertumbuhan populasi sekitar 1,08%, idealnya minimal 15,27% untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Dari populasi sapi tersebut, sebagian 45−50%
adalah sapi asli Indonesia, yang berpotensi untuk dikembangkan. Berdasarkan
data tahun 1984, sapi Bali termasuk jenis sapi terbanyak, yaitu 3,81%, diikuti
sapi Madura (11,28%), dan sisanya terdiri dari sapi Ongole, Peranakan Ongole,
Brahman Cross, dan persilangan sapi lokal dengan sapi impor (Simmental,
Limousin, Hereford, dll). Sapi Bali merupakan sapi kebanggaan Indonesia yang
paling mudah dikembangkan karena mudah beradaptasi. Kawasan Indonesia Timur
dapat dikatakan sentra produksi sapi Bali. Oleh karena itu pengembangan sapi
Bali lebih dikonsentrasikan di kawasan tersebut.
4) Permintaan
Terhadap Daging Sapi Yang Terus Meningkat
Jika dilihat dari pangsa konsumsi, sekitar
48,3% daging yang dikonsumsi adalah daging unggas, 26,1% daging sapi, dan
sisanya terdiri dari daging jenis ternak lain. Ini berarti selera konsumen
terhadap daging sapi cukup potensial. Dengan pertumbuhan penduduk yang
meningkat rata-rata 1,5% per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5%
sampai 5,0% pada tahun 2005, diperkirakan konsumsi daging sapi akan meningkat
dari 1,9 kg/kapita/tahun menjadi 2,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Jika
dikaitkan dengan ketentuan Pola Pangan Harapan, seharusnya konsumsi daging
masyarakat Indonesia sebanyak 10,1 kg/kapita/tahun. Ini berarti dari isi
permintaan masih cukup potensial untuk
ditingkatkan.
5) Indonesia
Menular Berbahaya Bebas Dari Penyakit
Negara Indonesia bebas 10 dari 12
Penyakit Hewan Menular (List A OIE), sehingga memberikan iklim investasi yang
lebih baik dan memiliki kesempatan dan kemampuan untuk ekspor.
6) Potensi
Kelembagaan Petani Ternak Dan Petugas Teknis
Sebagian besar petani peternak membentuk
kelompok-kelompok tani ternak, sehingga
memudahkan
dalam pelaksanaan kegiatan kesehatan hewan, penyuluhan, pelayanan inseminasi
buatan (IB), yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas
ternak. Petugas fungsional pengawas mutu bibit, penyuluh, pengawas mutu pakan,
petugas
pelayanan
kesehatan hewan, dan petugas pelayanan IB sudah cukup banyak tersebar di
seluruh propinsi dan siap untuk melaksanakan tugas sesuai kewenangan
masing-masing. Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
7) Terbukanya
Pasar Di Negara Lain
Permintaan dari negara lain terhadap
ternak dan produk ternak lokal Indonesia (semen
beku,
sapi bakalan, dll.) cukup tinggi. Jenis sapi potong yang cukup diminati Negara
tetangga kita Malaysia adalah sapi Bali, baik sapi bakalan, bibit, maupun
berupa semenbekunya. Selama lima tahun mendatang, Malaysia mengharapkan
Indonesia dapat mengekspor 10.000 ekor sapi potong, dan dari jumlah tersebut
baru sebagian kecil, yaitu sekitar 850 ekor yang telah diekspor ke Negara
tersebut pada tahun 2003. Ekspor ternak sapi potong lokal diharapkan dapat
meningkatkan motivasi peternak maupun para investor untuk mengembangkan usaha
pembibitan ternak, yang selama ini hanya dilakukan oleh peternak
skala
usaha kecil.
8) Tersedianya
Teknologi Tepat Guna
Lembaga Penelitian bersama-sama
Perguruan Tinggi merupakan institusi yang berwenang mengeluarkan teknologi
hasil penelitian. Inovasi baru ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
dalam penggunaan sumberdaya serta meningkatkan efisiensi dalam menghasilkan
produk yang berdaya saing tinggi.
9) Regulasi
Untuk Menciptakan Iklim Usaha Yang Kondusif
Kita mempunyai peraturan
perundangundangan yang memberikan kepastian hokum dan dalam melakukan
pembangunan peternakan sinergis dengan peraturan perundang-undangan lain yang
terkait. Beberapa peraturan yang terkait dengan usaha ternak potong antara lain
UU No. 6 /1967, SNI Bibit Ternak, SK Menteri Pertanian tentang Ijin Usaha, dsb.
BAB IV
PENUTUP
Untuk memanfaatkan tantangan dan peluang
dalam meningkatkan produksi dan produktivitas sapi potong di Indonesia, perlu
dilakukan upaya-upaya teknis dan social ekonomis. Upaya-upaya teknis mencakup
aspek peningkatan efisiensi pembibitan dan peningkatan efisiensi penggemukan.
Jika upaya ini terus dilakukan, maka
selain akan terjadi peningkatan pertumbuhan populasi (calf crop), juga
akan terjadi peningkatan produktivitas (berat badan per ekor). Upaya-upaya
sosial ekonomis perlu dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan
mencakup pembinaan kelompok usaha, fasilitasi akses peternak kepada lembaga
keuangan, fasilitasi akses peternak kepada pasar dengan menciptakan struktur
pasar yang lebih kompetitif.
Sehubugan dengan peran pemerintah sebagai regulator
dan fasilator, maka yang harus dilakukan untuk menjaga kelangsungan kegiatan
peternakan ini adalah: meningkatkan pengetahuan atau teknologi peternakan agar
dapat melakukan proses produksi secara optimal, memberi akses terhadap
permodalan, misalnya dalam bentuk kredit program untuk melancakan usaha
peternakan, membentuk akses terhadap pasar, sehingga pemasaran peternakan bisa
lebih ditingkatkan/ lebih berpihak kepada produsen ternak, membantu proses
pasca panen (dalam bentuk penyedian teknologi), menjamin keteresediaan
sarana/prasarana produksi peternakan rakyat dengan harga yang terjangkau.
Daftar
Pustaka
STOLTZ,
D.R., DARMONO, ISMAWAN, GUNAWAN and R.B.MARHALL. 1985. Bovine copper deficiency
in Indonesia. Proc. 3rd Animal Science Congress. Asian Aust. Assoc. Animal
Prod. Soc. Seoul. (1): 531 – 533.
THOMAS,
C. and P.S. OATES. 2003. Copper deficiency increases iron absorption in the
rat. American J. Physiol. 285(5): 789 – 795.
TOKARNIA,
C.H., J. DOBEREINER, P.V. PEIXOTO and S.S. MORAES. 2000. Outbreak of copper
poisoning in cattle fed poultry litter. Vet. Hum. Toxicol. 42(2): 92– 95.
UNDERWOOD,
E.J. 1978. Interaction of trace elements. In: Toxicity of Heavy Metals
in The Environment part 2. OEHME (Ed.).
Marcel & Decker Inc. N.Y. pp. 641
–667.YOST, G.P., J.D. ARTHINGTON, L.R. MCDOWELL, F.G. MARTIN, N.S. WILKINSON
and C.K. SWENSON. 2002. The effect of copper source and level on the rate and
extent of copper repletion in Holstein heifers. J. Dairy Sci. 85(12): 3297
Comments
Post a Comment