pemanenan hijauan pakan ternak
A.
PENDAHULUAN
Tantangan pengembangan
pengembangan peternakan tidak bisa terlepas dari sub sektor lain yang
erat kaitannya dengan sub sektor peternakan, karena peternakan merupakan bagian
dari sektor pertanian. Pertumbuhan dan
perkembangan sub sektor peternakan sangat tergantung dari pertumbuhan dan
perkembangan sektor-sektor lain yang terkait.
Dengan pergeseran skala usaha peternakan dari sistim peternakan
tradisional menuju ke sisti pemeliharaan yang bersifat semi intensif, misalnya
dalam pemeliharaan sapi potong yang dulunya di lepas dipadang penggembalaan
dengan mengandalkan padang rumput, namun di era modern ini dengan semakin
terbatasnya lahan perumputan maka sistim pemeliharaan yang lebih intensif yang
diarahkan untuk peningkatan berat badan.
Sehubungan hal tersebut maka pakan
ternak dalam bentuk hijauan makanan ternak semakin menjadi kebutuhan yang utama
daqn harus tersdeia sepanjang tahun.
Hijauan makanan ternak perlu dikembangkan di dipelihara secara intensif,
sehingga dibutuhkan petunjuk penanaman hijauan makanan ternak.
Pada umumnya
panen pertama dilakukan pada saat tanaman berumur t 60 - 90 hari setelah tanam,
panen berikutnya setiap ± 45 had sekali pada musim hujan atau ± 60 hari sekali
pada musim kemarau . Pemotongan rumput harus disisakan sampai stinggi 10 - 20
cm dengan interval pemotongan 42 - 60 hari (paling baik 42 hari) .
B.
Pemotongan atau Pemanenan
Pemotongan adalah pengambilan bagian
tanaman yang berada diatas permukaan tanah.
Pemotongan dapat dilakukan dengan 2 cara : tergantung dari cara
penyajiannya, yaitu pemotongan dengan alat arau dengan renggutan ternak yang
digembalakan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam melakukan pemotongan/ pemanenan adalah sebagai berikut :
1.
Waktu Pemotongan/Pemanenan
Waktu terbaik pemotongan ialah pada
akhir pertumbuhan vegetatif, yaitu saat hiajuan menjelang berbunga. Pada saat itu, kandungan hijauan menjapai
tingkat tertinggi.
Menurut Aminudin (1990), bahwa umur
pemotongan rumput umumnya dilakukan pada periode akhir masa vegetatif atau menjelang
berbunga untuk menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) yang optimal, sehat dan
kandungan gizinya tinggi.
Umur pemotongan yang tepat dan optimal dari
rumput yang akan dipotong pada saat pemanenan akan mempengaruhi nilai gizi
rumput, daya cerna serta produksi rumput yang dihasilkan
2.
Frekwensi Pemotongan
Pemotongan ulang jangan dilakukan
terlalu sering, karena dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
kembali. Umumnya rumput potongan dapat
di panen ketika berumur 50 – 70 hari.
Pemotongan ulang dilakukan setiap 40 – 70 hari berikutnya, tergantung
ketersediaan air bagi rumput.
3.
Intentitas Pemotongan
Intensitas pemotongan adalah tinggi
rendahnya pemotongan/renggutan. Tinggi
pemotongan kira-kira 10 – 15 cm di atas permukaan tanah. Pemotongan terlampau rendah mengakibatkan berkurangnya
cadangan makanan, sehingga pertumbuhan kembali terhambat.
C.
Pengaturan Defoliasi/Penggembalaan
Defoliasi
mempunyai arti pemotongan daun, yang secara luas dapat diartikan pemotongan
bagian-bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah (bagian aerial) baik
dengan sistem cut and carry atau
dengan perenggutan oleh ternak yang digembalakan (grazing).
Dalam sistem
penggembalaan, waktu pemanenan hijauan perlu kiranya mendapatkan perhatian
karena waktu pemanenan identik dengan umur tanaman. Umumnya kadar protein akan
turun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman tetapi kadar serat kasar
menunjukkan perilaku sebaliknya.
Kecuali
pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi (protein dan serat), maka saat
pemotongan hijauan sangat erat hubungannya dengan daya cerna dan konsumsi oleh
ternak yang memakannya. Tiga faktor tersebut yaitu kandungan nutrisi, daya
cerna serta jumlah konsumsi sangat menentukan produksi ternak. Pada kelompok
leguminosa maupun rumput, ketiga faktor tersebut pada umumnya menurun
sehubungan dengan meningkatnya umur tanaman, namun demikian antar spesies dalam
kelompok tanaman tersebut juga menunjukan variasi. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa kualitas hijauan di pastura selain dipengaruhi oleh perlakuan
juga dipengaruhi pula oleh faktor genetik tanaman.
Untuk
mendapatkan hijauan yang berkualitas tinggi, maka pelaksanaan dalam praktek
berarti hijauan harus lebih sering dipotong (defoliasi) agar pertanaman selalu
dalam keadaan muda. Pertanyaan yang timbul adalah seberapa jauh ulangan
defoliasi pada umur muda tersebut mempengaruhi produksi dan perlakuan apakah
yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi. Seperti yang dilaporkan
Susetyo (1978) pengaruh interval defoliasi baik pada leguminosa maupun rumput
berpengaruh terhadap produksi bahan kering. Ternyata bahwa makin pendek
interval pemotongan produksi tanaman per Ha menurun bahkan nampak timbulnya
gangguan oleh tumbuh-tumbuhan pengganggu. Defoliasi yang berat (frekuensi dan
intensitas) akan memperlemah pertumbuhannya dan pada pertanaman campuran antara
leguminosa dan rumput akan dapat menyebabkan kemusnahannya. Dalam hal inipun
nampak bahwa mempertahankan pertanamanan dalam kondisi muda untuk mendapatkan
nilai gizi yang tinggi dengan jalan mengatur interval defoliasi pendek akan
menurunkan produksi bahan kering, sebagai akibatnya jumlah ternak yang dapat
dipelihara juga menurun..
Secara umum
karakteristik tanaman pastura mempunyai sifat : kualitas berbanding terbalik
dengan produksi, artinya bila mengharapkan kualitas tinggi, maka sebagai
konsekuensinya produksi menjadi rendah, oleh karena itu sebaiknya defoliasi
dilakukan pada akhir fase vegetatip (perpindahan dari fase vegetatif ke
generatif) agar tanaman mempunyai cukup cadangan makanan berupa karbohidrat
didalam akar/ rhyzoma yang ditinggalkan. Setelah dilakukan defoliasi,
karbohidrat ini dirombak oleh enzim-enzim tertentu menjadi energi yang akan
digunakan untuk tumbuh kembali (regrowth).
Regrowth merupakan sifat fisiologis suatu tanaman makanan ternak perrenial untuk
tumbuh kembali setelah mengalami defoliasi, dimana dalam sistem penggembalaan
hal ini dipengaruhi oleh :
(1) Interval pemanenan
Interval pemanenen yang
mengandung pengertian waktu atau umur tanaman adalah ulangan perenggutan
hijauan didalam pastura. Apabila jumlah ternak yang merenggut hijauan di
padangan terlalu besar dan tidak seimbang dengan luas padangan yang tersedia,
maka semakin besar ulangan perenggutan yang terjadi. Hal ini akan menghambat regrowth hijauan untuk berassimilasi
guna membentuk cadangan makanan.
(2) Intensitas pemanenan
Intensitas pemanenan adalah tinggi rendahnya perenggutan hijauan di pastura
akibat penggembalan ternak. Apabila bagian tanaman yang ditinggalkan di atas
permukaan tanah semakin pendek, maka pertumbuhan kembali semakin terhambat
karena cadangan makanan yang terbentuk sedikit mengingat tempat cadangan
makanan berkurang sehingga kesempatan untuk berassimilasi juga menjadi
berkurang. Namun demikian fenomena ini tidak berlaku untuk semua species,
karena ada beberapa species seperti Setaria
anceps yang menunjukkan perilaku semakin pendek pemotongan, maka jumlah
anakan yang ditimbulkan semakin banyak, namun ketegaran tanaman ini pada umur
muda bekurang karena anakan-anakan tersebut tidak tahan terhadap injakan
ternak.
Kedua faktor tersebut
hendaknya perlu dipertimbangkan karena defoliasi yang dilakukan secara
terus-menerus tanpa adanya pengaturan rotasi dan pemberian waktu yang cukup
bagi tanaman untuk regrowth, maka
akan terjadi kondisi dimana tanaman-tanaman primer kurang dominan, sebaliknya
padangan akan didominasi oleh tanaman pengganggu sehingga kulitas pastura
menjadi rendah. Meskipun regrowth
tanaman dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, namun curah hujan atau
ketersediaan air tanah mempunyai pengaruh yang besar pula pada aktifitas regrowth. Pada musim hujan, interval
pemotongan yang pendek tidak menimbulkan pengaruh namun saat kemarau interval
pemotongan pendek menjadi masalah untuk aktifitas regrowth. Dengan demikian pelaksanaan di lapangan, pada musim hujan pemanenen dapat dilakukan pada umur muda
sedangkan pada musim kemarau umur panen harus ditunda lebih lama.
D.
Penentuan Jumlah Ternak Yang Digembalakan (Kapasitas Tampung)
Pemanfaatan
pastura yang optimal dapat dilakukan dengan mengatur imbangan yang serasi
antara kuantitas hijauan yang tersedia dengan jumlah ternak yang digembalakan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu pengetahuan untuk
memperkirakan produksi suatu padangan, sehingga secara tepat dapat
memperkirakan jumlah ternak yang dapat dimasukkan ke dalam pastura.
Kemampuan masing-masing pastura` dalam menampung ternak
berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal-hal produktivitas
tanah, curah hujan dan penyebarannya, topografi dan hal-hal lain. Oleh karena
itu setiap pastura sebaiknya digembalai menurut kemampuan masing-masing.
Taksiran daya tampung menurut Halls et al. (1964) dapat didekati dengan jumlah hijauan tersedia di
pastura tersebut. Namun demikian untuk mengamati setiap bagian dari pastura
tersebut sangat sulit dan bahkan tidak mungkin dapat dikerjakan, sehingga cara
pengambilan cuplikan sebagai contoh (sample)
memegang peranan penting dalam pengukuran produksi hijauan. Ada beberapa metoda
untuk menentukan letak petak-petak cuplikan agar produksi hijauan dapat
ditaksir dengan benar. Metoda-metoda yang mungkin dapat dipilih adalah sebagai
berikut :
- Dengan pengacakan
- Dengan stratifikasi
- Secara sistematik (dimulai dari titik yang telah ditentukan dan kemudian cuplikan-cuplikan diambil pada jarak-jarak tertentu sepanjang garis yang memotong padang rumput).
Setiap
metoda pengambilan cuplikan tersebut mempunyai kebaikan dan keburukan tetapi bila
dilakukan dengan baik dan penuh komitmen tinggi maka dapat memberikan gambaran
yang cukup obyektif.
Cara yang baik dalam pengambilan cuplikan misalnya dengan
menggunakan dua angka dari daftar angka random sebagai koordinat tempat
cuplikan. Koordinat tersebut tidak perlu dimulai dari sudut pastura sebagai
titik nol tetapi dapat dimulai dari letak cuplikan yang sebelumnya. Jumlah
cuplikan yang diperlukan tergantung dari ketidak seragaman pastura, alat-alat
yang digunakan, tujuan pengambilan data, tingkat ketelitian yang dikehendaki
serta biaya atau fasilitas yang tersedia.
Menurut Halls et al.
(1964) mengukur daya tampung pastura sebagai berikut: petak cuplikan pertama
ditentukan secara acak seluas 1 m2 bujur sangkar atau dalam bentuk
lingkaran dengan garis tengah 1 m. Petak cuplikan kedua diambil pada jarak
lurus 10 langkah ke kanan dari petak cuplikan pertama dengan luas yang sama.
Kedua petak cuplikan yang berturut-turut tersebut membentuk satu kumpulan (cluster). Cluster selanjutnya diambil pada jarak lurus 125 m dari cluster
sebelumnya. Dalam hal ini terdapat beberapa kemungkinan modifikasi yang dapat
disesuaikan dengan keadaan lapangan sehingga diperoleh cuplikan yang
diperlukan. Untuk lapangan seluas 160 acre (± 65 ha) diperlukan paling sedikit
50 cluster.
Setelah petak cuplikan ditentukan semua hijauan yang
terdapat didalam petak tersebut dipotong sedekat mungkin dengan tanah termasuk
dipotong juga bagai tanaman pohon-pohonan yang mungkin dapat dimakan ternak
sampai setingggi 1,5 m. Hijauan tersebut kemudian dimasukkan kedalam
kantung-kantung dan ditimbang bobot segarnya. Apabila petak cuplikan jatuh pada
batu-batu atau pohon-pohon besar usahakan jangan menghindar, dan petak yang
kosong tersebut nantinya juga digunakan pembagi untuk mendapatkan nilai
rata-rata.
Dari catatan
bobot segar hasil cuplikan maka dapat diketahui produksi hijauan segar per m2.
Namun demikian perlu dipertimbangkan bahwa tidak seluruh hijauan tersebut dapat
terkonsumsi ternak karena sebagian dari bagian tanaman harus ditinggalkan untuk
menjamin regrowth. Jadi harus
diperhitungkan proper use factor (PUF).
Besarnya proper use factor tersebut
antara lain dipengaruhi oleh :
1.
Erodibilitas
lahan
Pada pastura yang mudah
mengalami erosi karena topografi miring atau hamparan vegetasi yang rendah
(tumbuhnya jarang), maka sebaiknya hijauan tidak semuanya dipanen.
2.
Pola regrowth tanaman
Tidak semua jenis tanaman
mempunyai kecepatan pertumbuhan kembali yang sama setelah dipanen, oleh karena
itu pada tanaman yang mempunyai pola regrowth
lamban sebaiknya tidak semua hijauan yang dapat dipanen semuanya untuk ternak.
3.
Jenis dan
jumlah ternak
Pada dasarnya semakn banyak
atau semakin besar jenis ternak yang dipelihara maka semakin banyak pula
tanaman yang terinjak, sehingga tidak semua hijauan yang dipanen dapat
dimanfaatkan untuk ternak. Pada umumnya tanaman yang sudah terinjak-injak akan
dikonsumsi belakangan setelah tidak ada hijauan lain yang disukai, tetapi pada
tanaman yang sudah terkena kotoran (feses dan urin) maka hijauan tersebut tidak
akan dikonsumsi ternak dalam waktu yang cukup lama. Pada beberapa hari pertama
setelah tanaman terkena kotoran segar, maka
tanaman terlihat mulai menguning karena kotoran tersebut mengalami
proses fermentasi sehingga panas yang ditimbulkan merupakan cekaman bagi
tanaman. Selanjutnya setelah kotoran tersebut mengalami pelapukan, maka
terlihat tanaman tersebut tumbuh subur dibandingkan tanaman lainnya. Oleh
karena itu di pastura sering terlihat tanaman yang bergerumpul rimbun yang dari
kejauhan seperti titik-titik hijau, hal ini adalah kelompok tanaman yang subur
akibat terkena kotoran ternak dan ternak tidak mau mengkonsumsinya.
4.
Keadaan
musim/ketersediaan pengairan
Pertimbangan regrowth tetap
menjadi faktor dominan terhadap pemanfaatan hijauan. Seperti telah diketahui
sebelumnya bahwa pada musim kemarau dimana air merupakan faktor pembatas
pertumbuhan tanaman, maka regrowth
tanaman akan lamban, oleh karena itu pemanfaatan hijauan yang ada juga perlu
disisakan untuk menjamin kepentingan regrowth
tanaman.
Pada
dasarnya makin besar kemungkinan terjadinya erosi atau faktor-faktor yang dapat
menghambat pertumbuhan tanaman pada suatu pastura, maka PUF semakin kecil.
Untuk penggunaan pastura yang ringan besarnya PUF adalah 25-30%, penggunaan
medium 40-45%, sedang untuk penggunaan yang berat 60-70%.
Sebagai contoh penentuan
kapasitas tampung:
Suatu misal
produksi hijauan segar hasil cuplikan rata-rata per m2 = 2 kg, maka
produksi hijauan dalam pastura per Ha itu ditaksair 2 x 10.000 = 20.000 kg = 20
ton, dengan menggunakan PUF 40 % maka jumlah hijauan yang tersedia untuk ternak
per Ha 40% x 20 ton = 8 ton/ha.. Apabila kebutuhan hijauan 40 kg
segar/ekor/hari maka kebutuhan luas tanah per bulan (30 hari) = ha/ekor/bulan = 0.15 ha/ekor/bulan.
Berkaitan
dengan musim dan regrowth hijauan
setelah dipanen, maka dapat dimaklumi bahwa suatu padangan memerlukan suatu
masa istirahat agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan
siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat (rest). Pada umumnya, padang rumput
tropika membutuhkan waktu 70 hari istirahat setelah digembalai (stay) selama 30 hari. Hal ini tergantung
spesies tanaman dan musim.
Untuk menaksir kebutuhan luas lahan per tahun dapat
dimanfaatkan rumus Voisin sebagai berikut :
[ y – 1 ] s = r
y = angka konversi
luas tanah yang dibutuhkan per ekor sapi per tahun terhadap kebutuhannya per
bulan
s = periode merumput [s = stay]
r = periode istirahat [r = rest]
Dengan memasukkan nilai r = 70 dan s = 30 pada rumus
diatas maka diperoleh
y =
= 3,3
Dengan nilai y = 3,3. serta
diketahuinya kebutuhan luas pastura per bulan 0,15 ha, maka kebutuhan luas
padangan yang diperlukan per tahun adalah 3,3 x 0,15 ha = 0,495 hektar untuk
per ekor sapi. Dengan kata lain, berarti satu Ha pastura per tahun dapat
menampung 2 ekor sapi dewasa yang setiap hari dengan konsumsi 40 kg rumput pada
tingkat penggembalaan sedang.
Kesimpulan
dari hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa kapasitas tampung pastura
adalah 2 ekor / ha, dengan catatan sapi dewasa yang tiap hari mengkonsumsi
hijauan segar 40 kg. Dari hasil tersebut timbul pertanyaan, bagaimana kalau
sapi yang digembalakan tersebut pedet atau sapi dewasa yang konsumsinya hanya
30 kg hijauan segar per hari. Selanjutnya bagaimana kalau hasil pehitungan
ternyata diperoleh kapasitas tampung suatu pastura 2,5 ekor/ha Dengan melihat
kasus tersebut, maka satuan kapasitas tampung pastura yang dinyatakan dengan ekor/ha belum operasional, dengan
demikian memerlukan suatu standar yang memadai dan mudah dioperasionalkan.
Untuk itu satuan kapasitas tampung secara internasional dinyatakan dalam Animal
Unit (AU) atau Satuan Ternak
(ST). Adapun pengertian dari Satuan
Ternak adalah kemampuan ternak dalam mengkonsumsi hijauan yang perlu
distandarisasi. Secara umum 1 Satuan Ternak adalah ternak yang dapat
mengkonsumsi hijauan segar 40 sampai 45 kg atau 8 sampai 9 kg bahan kering per
hari.
Variasi ini
tergantung pada rata-rata ternak dewasa dalam suatu wilayah. Untuk daerah
tropis seperti Indonesia, 1 ST setara dengan sapi dewasa yang dapat
mengkonsumsi hijauan 8 kg/ekor/hari. Dengan demikian bila kemampuan konsumsi
bahan kering sapi sekitar 2,75 persen dari bobot badan ternak, maka 1 ST setara
dengan sapi yang mempunyai bobot badan 290 kg. Satuan ini lebih operasional,
karena bila nantinya ditemui kapasitas tampung suatu pastura adalah 2,5 ST,
artinya dalam pastura tersebut dapat digembalai ternak yang total berat
badannya 2,5 x 290 kg = 725 kg yang bisa terdiri dari 2 ekor sapi besar atau 4
sampai 5 sapi kecil, yang terpenting adalah total jumlah berat badan semua
ternak yang digembalakan sekitar 725 kg. Pendekatan satuan ternak ini juga berlaku
untuk jenis ternak lain baik ternak ruminansia kecil (domba, kambing) atau
kerbau dan kuda.
E.
Tatalaksana Penggembalaan
Setelah
dapat menentukan jumlah ternak yang digembalakan, maka tahap berikutnya adalah
melakukan tatalaksana pengembalaan sebaik mungkin agar produktivitas sekunder
ataupun primer pastura dapat terjamin.
Tujuan dari tatalaksana
pengembalaan ternak adalah :
1. Mempertahankan kontinyuitas pasokan hijauan sepanjang waktu baik dari segi
kuantitas maupun kualitasnya.
2. Mempertahankan ekosistem antar hijauan yang ada di dalam pastura baik
rerumputan, leguminosa maupun tanaman penunjang lainnya.
3. Untuk mencapai tingkat penggunaan hijauan makanan ternak seefisien mungkin.
4. Untuk mendapatkan tingkat produktivitas ternak yang tinggi.
Dalam
tatalaksana pengembalaan ternak di pastura dikenal beberapa macam sistem,
diantaranya adalah sebagai berikut :
F.
Penggembalaan Kontinyu
Cara
penggembalaan kontinyu adalah menempatkan ternak dalam pastura yang sama untuk
dalam jangka waktu yang lama. Cara ini biasanya dikatagorikan sebagai ekstensip
total yang umumnya dilakukan pada pastura alam. Jumlah ternak yang digembalakan
relatif rendah, hal ini disebabkan karena sumbangan nutrisi dari rumput alam
kurang memadai apabila dilakukan penggembalaan berat.
Pada musim penghujan
sistem penggembalaan semacam ini akan menampilkan produksi ternak yang lebih
baik dibandingkan dengan sistem penggembalaan bergilir. Sebaliknya, pada musim
kemarau terjadi ketidakseimbangan antara ternak yang digembalakan dengan
ketersediaan hijauan. Tingkat produktivitas ternak biasanya nampak bervariasi
pada masing-masing ternak dibandingkan dengan sistem penggembalaan yang lain.
Hal ini disebabkan karena adanya tingkat selektivitas ternak yang tinggi dan
kompetisi antar ternak untuk memenuhi kebutuhannya. Adanya kompetisi yang ketat
menyebabkan ternak yang besar cenderung dominan dibandingkan yang kecil atau
masih muda, selain itu dengan tidak adanya pengelompokkan berdasarkan umur,
maka ternak-ternak muda akan mudah terserang ekto maupun endo parasit.
Pada sistem
penggembalaan ini terlihat jarak jangkau ternak untuk mendapatkan hijauan
sangat jauh lebih-lebih pada saat kemarau. Namun untuk pastura yang tersedia
tempat air minum, maka ternak terlihat berkumpul disekitar air minum dan
akibatnya vegetasi disekitar air tersebut tidak ada karena cekamannya terlalu
berat dan sebagai akibatnya kondisi ternak kurus.
.
G.
Penggembalaan Bergilir.
Penggembalaan
bergilir adalah cara penggembalaan ternak dengan cara membagi areal pastura
menjadi beberapa bagian (paddock)
kemudian ternak digembalakan secara bergantian dari satu bagian ke bagian yang
lain. Tujuan dari sistem ini adalah memberikan kesempatan pada ternak untuk
mendapatkan hijauan pada saat nilai nutrisi hijauan tinggi, serta memberikan
waktu istirahat yang cukup bagi tanaman untuk dapat tumbuh kembali. Dengan cara
penggembalaan seperti ini ternak dibatasi ruang geraknya sehingga pemanfaatan
hijauan efisien dan ternak tidak mengeluarkan energi yang banyak untuk mencari
hijauan. Cara ini juga menekan seleksi ternak terhadap hijauan, sehingga
pemanfaatan hijauan dalam suatu areal merata.
Penggembalaan
bergilir juga juga dapat dijumpai pada pastura alam, yaitu dengan cara
memindahkan ternak dari suatu wilayah ke wilayah lain yang lebih banyak hijauannya,
hal ini sering ditemui di daerah Sulawesi Tenggara pada peternak yang memilki
sapi dalam jumlah besar. Namun karena produksi hijauan pada pastura alam
rendah, maka mobilitas peternak sangat tinggi dan hal ini akan berpengaruh pada
biaya transportasi untuk pemindahan ternak.
Pada pastura
buatan umumnya cara penggembalaan ini dilakukan pengelompokan ternak
berdasarkan umur dan tingkat produksi, misalnya kelompok ternak berproduksi
tinggi (sapi perah dan penggemukan) dan ternak berproduksi rendah (sapi kering
dan ternak yang dipelihara sekadarnya). Ternak-ternak berproduksi tinggi diberi
kesempatan pertama untuk merenggut hijauan yang berkualitas baik, kemudian
diikuti oleh kelompok ternak yang lain.
Fluktuasi produksi hijauan
akibat musim akan menyebabkan perubahan jumlah ternak yang digembalakan,
sehingga untuk menjaga agar pemasokan hijauan tetap kontinyu sepanjang waktu,
diperlukan pertimbangan dalam hal usaha pengawetan hijauan pada saat produksi
berlimpah.
Cara
penggembalaan bergilir ini ada yang lebih intensif yaitu disebut dengan Penggembalaan Jalur. Penggembalaan
jalur ini merupakan sistem penggembalaan bergilir yang intensif dengan
menggunakan pagar llistrik yang dapat dipindah-pindah melintasi petak penggembalaan.
Dengan cara ini jumlah hijauan yang tersedia bagi ternak terbatas, kesempatan
seleksi ternak ditekan serendah mungkin dan penggunaan padangan merata serta
kerusakan karena injakan dan pencemaran oleh kotoran ternak lebih
terkendali/merata. Untuk mencegah agar ternak tidak merenggut tanaman yang
sedang tumbuh kembali, maka dipasang pagar kedua di belakang ternak.
Pelaksanaan penggembalaan jalur ini akan mendapatkan hasil yang baik apabila
dilaksanakan pada pastura yang berproduksi tinggi (kuantitas dan kualitasnya).
Pemanfaatan hijauan akan merata dan selekdi
hijauan dapat ditekan.
H.
Penggembalaan Berpantang
Penggembalaan
berpantang adalah suatu cara untuk mengistirahatkan pastura sekaligus merupakan
suatu upaya untuk mempersiapkan persediaan pakan, artinya pada suatu saat
pastura tidak digembalai ternak, pada saat produksi sudah tinggi areal dipaksa
dikeringkan sehingga tanaman kering. Areal pastura ini nantinya digembalai
ternak atau dipotong untuk disimpan dalam bentuk kering guna mengantisipasi
situasi kekurangan hijauan. Hijauan yang dipaksa kering di pastura ini disebut
dengan standing hay. Standing hay ini berbeda dengan rumput yang
sudah mengering karena tua, karena standing hay ini rumput dipaksa kering pada
saat kualitasnya tinggi dengan cara menghentikan proses biologis melalui
pengeringan lahan.
Dengan
melakukan penggembalaan berpantang ini diharapkan tanaman menjadi tegar saat
tumbuh kembali nantinya, karena perakaran berkembang bebas tanpa ada injakan
ternak, sehingga produktifitas tanaman berikutnya menjadi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Mad Soleh, Ujang Jarkasih Dan Kardi (2001) Peremajaan
Kebun Rumput Sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak Dalam Menunjang Kegiatan
Penelitian Penyakit Hewan Balai Penelitian Veteriner Bogor
Syafrial Endang
Susilawati Bustami (2007) Manajemen Pengelolaan Penggemukan Sapi Potong Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian balai besar pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian
Ir. H. Muhammad Syahrir, MP (2009) Pemanenan Hijauan
Makanan Ternak, Bandung
Lutfiyatul Hidayah (2006) identifikasi
hijauan segar dan hijauan kering Yokyakarta.
Halls, L.K., R.H. hughes, R.L. Rummel and B.L. Southwel1964. Forage and
Cattle Management in Longleaf-Slaash Pine forest. Farmer’s Bulletin, 2199,
Washington,.
Jones, R.J. and R.L. Sandland, 1974. The Relation between Animal Gain and
Stocking Rate. J.Agric.Sci., 83, 335-52.
McIlroy, R.J. 1964.Tropical Grassland Husbandry. Oxford Univ. Press. London
Mott, G.O. 1960. Grassing pressure and the measurement of pasture
production. Proceedings 8th international Grassland Congress,
Reading, pp. 606-11.
Comments
Post a Comment